Pada 21 Desember 2016, Yayasan Forum
Adil Sejahtera (YFAS) mengadakan peluncuran buku berjudul . “Pengusaha Wajib
Membayar Upah Tertangguh”. Lahirnya buku
ini, merupakan jalan lain untuk memperjuangkan hak-hak buruh di Indonesia.
Kenapa jalan lain?
Menurut Hafidz, yang concern
melakukan penelitian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), ada saat kapan buruh turun ke jalan, ada saat
kapan buruh harus melakukan bentuk gugatan terhadap undang-undang yang bertentangan
dengan undang-undang dasar 1945 yang di dalamnya terdapat hak konstitusi warga Negara.
Apa yang dikatakan Mas Hafidz tentunya perlu direnungkan. Apalagi jika kita
melihat terbitnya berbagai undang-undang yang menjadi palang-palang bagi buruh
dalam menggunakan haknya menuntut keadilan. Salah satunya adalah undang-undang
yang mengatur ijin menyampaikan pendapat di muka umum, dimana undang-undang
tersebut memberi keleluasaan control bagi aparat dan pemilik modal terhadap
proses persiapan aksi, dan sering disertai intimidasi-intimidasi karena niat
mogok sudah diketahui jauh-jauh hari sebelmnya. Lalu, dalam pelaksanaan aksi,
buruh juga dihadapkan pada batasan jam berlangsungnya aksi. Lewat dari itu, kita
sama-sama tahu akibat-akibat yang terjadi dan buruh-buruh serta aktivis yang
menjadi korban karenanya.
Artinya, aksi turun ke jalan, akan
usai pada hari itu meski permasalahan tidak selesai. Tanpa menafikan bahwa aksi
tetap perlu dilakukan, melakukan gugatan undang-undang yang merugikan buruh
sudah menjadi kebutuhan mendesak dan disadari secara massif oleh semua elemen
serikat buruh.
Hal itu kian terbukti dengan
dikabulkannya sebagian tuntutan Serikat Buruh Bangkit dan Gabungan Serikat
Buruh Mandiri bersama YFAS pada 2016 dalam Nomor: 72/PUU-XIII/2015. Dalam sidang
putusan yang dibacakan pada 29 September 2016, MK menghapus bagian frasa Penjelasan Pasal 90 ayat
(2) UU Ketenagakeraan. Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan Amar Putusan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dinyatakan
sepanjang frasa “…tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah
minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Artinya,
Mahkamah memberi penegasan selisih kekurangan pembayaran upah minimum tetap
wajib dibayarkan pengusaha selama masa penangguhan.
Putusan MK itu berlaku bagi seluruh
buruh di Indonesia. Tidak ada celah lagi bagi pengusaha untuk membayar upah di
bawah ketentuan pemerintah.
Cukup lama buruh ibarat dihadapkan
pada layar kaca dimana kenaikan upah tiap tahun adalah harapan yang bisa
dilihat dan didengar, namun realitanya buruh mendapati lorong gelap yang
disesaki ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Akibatnya, buruh menjadi
korban pengingkaran hak-hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Salah satunya dialami buruh PT. Universal Footwear Utama Indonesia
yang hingga lebih dari tujuh tahun upahnya selalu ditangguhkan dan tidak pernah
dibayar selisihnya. Dalam kurun waktu 2013-2014 saja buruh di PT. UFU dirugikan
senilai Rp. 18.418.818.000,- (puluhan miliar).
Bagaimana dengan buruh di pabrik
lain? Berapa jumlahnya? Dan berapa kerugiannya? Tentunya bisa bernilai
triliunan. Itu terjadi sejak Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
diterbitkan. Meski sejak itu pula telah memicu berbagai gerakan demonstrasi
yang tiada henti.
Saya akhiri tulisan ini dengan
mengutip pernyataan Mas Hafidz, bahwa gerakan turun di jalan tetap penting tapi
buruh juga perlu dengan cerdas menggabungkanya dengan terobosan yang lebih
efektif, salah satunya menggugat ke MK.
Tangerang, 21 Desember 2016