Kita sering mendengar dan menyaksikan, betapa
mudahnya pengusaha mengkriminalkan kaum pekerja. Bahkan dalam
undang-undang pidana, perbuatan tidak menyenangkan bisa dilaporkan pengusaha ke
Kepolisian.
TAPI kami mencatat, dalam hal perburuhan, esensi
penegakan hukum di Indonesia
bukan soal substansinya, melainkan siapa melaporkan siapa.
Sejak November 2010, sebelas pekerja PT Bintang
Pratama Sakti (BPS) tidak dibayar upahnya, mereka dibiarkan oleh pengusaha
begitu saja. Untuk mengadvokasi permasalahan itu, kami pernah melayangkan
surat kepada Direktur
perusahaan bernama Carry Pratomo. Pada Maret 2011, kami melakukan
perundingan dikantornya, di Gedung Multipiranti Graha building 1st floor
Jl Radin Inten II/2 – Buaran Jakarta Timur.
Selanjutnya, Carry minta waktu untuk memenuhi
kewajibannya, membayar hak-hak pekerja. Pada 5 Mei 2011, dia mengirim
pesan pendek, bahwa minggu tersebut akan membayarkan upah pekerja. Tapi
yang terjadi, janji tinggal janji, dan Carry malah tak bisa dikontak
sama-sekali.
Sebagai warga negara yang baik, melalui
Serikat Buruh Bangkit, kami tetap menjalankan prosedur hukum guna memperoleh
keadilan, kami melaporkan perselisihan hubungan industrial ini ke Kantor Dinas
Tenaga Kerja Jakarta Timur.
Ironisnya, petugas di sana
justru memberikan kabar bahwa mereka tidak bisa mengusut pengusaha tersebut,
karena menurut mereka, kantor yang tertera dalam kop surat PT. Bintang Pratama Sakti tidak bisa
ditemukan. Petugas Dinas Tenaga Kerja Jakarta Timur, katanya sudah
mendatangi kantor di Gedung Multipiranti, dan di sana tidak ada perusahaan itu.
Berdasarkan informasi yang diberikan Dinas
Tenaga Kerja, dan menghilangnya Carry Pratomo kami laporkan ke Polres
Jakarta Timur, yang merupayakan wilayah kerja mereka. Namun, pada sore
yang panas di ruang Unit Serse lantai 2 itu, kami dihadapkan pada perjalanan
yang buntu. Seorang petugas yang kami tak tahu namanya karena tak mengenakan
seragam kerja, sama sekali tidak mau menerima laporan kami. Dia tetap
menyuruh kami untuk membawa kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Apa sejatinya PHI? Dan bagaimana mekanisme serta
prosedur berperkara di pengadilan itu?
PHI, pengadilan ad-hoc untuk kasus
perselisihan hubungan indsustrial itu, tempat menyelesaikan persoalan hak
dan kepentingan, persoalan antarserikat dan pemutusan hubungan kerja.
Di sana
mensyaratkan adanya bukti risalah perundiangan yang ditempuh sebelumnya yitu,
mediasi. Pertanyaannya, bagaimana bisa dilakukan mediasi? Jika Dinas
Tenaga Kerja sebagai instansi terkait yang bertugas memerantarai dan melakukan
pengawasan justru tak bisa lagi melacaknya?
Tapi, apapun yang terjadi, persoalan
ketenagakerjaan tetap harus diselesaikan melalui PHI. Meski ia sudah berubah
menjadi kasus pidana. Setidaknya, itu yang kami tangkap dari pernyataan aparat
kepolisian di kantor Polres itu, yang menurutnya, harus ini harus tetap ke PHI.
Pengaduan kami sungguh-sungguh ditolak. Karena Polres Jakarta Timur tidak
menerima pengaduan ketenagakerjaan.
Di Indonesia, ada empat lembaga peradilan:
Pengadilan Umum; Pengadilan Agama; Pengadilan Militer dan; Pengadilan Tata
Usaha Negara. Di luar itu, ada pengadilan Ad-hoc untuk kasus Ketenagakerjaan.
Pidana, masuk dalam pengadilan umum dan berlaku bagi siapapun. Harusnya hukum
itu berlaku bagi semua pelaku, termasuk pengusaha PT BPS itu. Memberikan
keterangan palsu kepada pihak lain dan merugikan, apakah itu tidak masuk unsur
pidana?
Dalam hal ini menurut kami, Kepolisian sudah
melakukan penyelewengan wewenang sebagai aparatur negara yang harusnya
melindungi dan menyayomi masyarakat. Apalagi, PT. Bintang Pratama Sakti adalah
perusahaan mitra PD Dharma Jaya, sebagai BUMD milik Pemda DKI-Jakarta.
Bagaimana hal ini bisa terjadi pada sebuah perusahaan yang dimiliki dan
dibiayai oleh rakyat, khususnya rakyat DKI-Jakarta? Kok tega-teganya
menelantarkan dan mengeksploitasi rakyat yang telah menghidupkan perekonomian
bangsa, khususnya Jakarta?
Perbuatan tidak menyenangkan yang menimpa
pengusaha dan pejabat, pelakunya selalu bisa dipidanakan. Tapi kenapa, ketika
pengusaha yang merampok hak-hak rakyat, memberi keterangan palsu kepada publik
dan negara, masih bisa dibiarkan?
Hukum harusnya menjadi alat pencegah timbulnya
gejolak sosial dan kriminalitas, bukan menjadi pemicu. Dan hukum harusnya
berlaku tanpa pandang bulu, bagi setiap warga negara. PHI tidak berkapasitas
menangani kasus-kasus yang mengandung unsur pidana.
Selasa, 18 Oktober 2011
Selasa, 18 Oktober 2011
Serikat Buruh Bangkit
Editor: Pahala Simanjuntak
No comments:
Post a Comment