Menaker: Mengejar Sunah Ninggal Wajib


"Kalau kita misalnya merem hanya melihat tuntutan buruh belaka pasti pengusahanya juga bisa kolaps dan menutup usahanya, dan bisa macam-macam,” begitu penggalan pernyataan Menaker RI Hanif Dhakiri yang saya baca di media detikNews, pada 24 November 2014.



Selanjutnya Hanif menghimbau perlunya melihat pintu lain sebagai jalan keluar, yaitu sandang- pangan, perumahan, transportasi,  kesehatan dan pendidikan,  jadi jangan hanya berkonsentrasi membesarkan pintu uang masuk, tapi bagaimana memperkecil pintu uang keluarnya.

Di sisi lain, pandangannya tentang pintu lain merupakan hal yang positif. Karena keberadaan buruh harus didudukkan secara utuh bahwa ia adalah warga negara, yang wajib disejahterakan oleh pemerintah melalui program-programnya secara komprehensif. Hal mana, Undang-undang Dasar Negara kesatuan RI 1945 menjamin hak konstitusi itu.

Namun, hal itu mestinya sudah harus berjalan lebih dulu dan sejak dulu –bukankah kewajiban negara mensejahterakan rakyatnya memang menjadi landasan cita-cita kemerdekaan?

Sudah 69 tahun sejak kemerdekaan itu diproklamirkan dan buruh masih dalam kemiskinan. Sekarang, era pemerintahan yang katanya berpihak pada rakyat “kecil” malah menaikkan BBM hingga 30 persen. Buruh, yang upahnya hanya diperkirakan naik 10,5 persen jelas tak menjangkau laju inflasi kenaikan semua kebutuhan pokok, transportasi, sewa kontrakan, dll.

Yang lebih menarik sekaligus menyentakkan, Menaker yang baru dipilih di pemerintahan Jokowi – JK ini menghimbau, "..... dunia usaha sesuai kemampuan keuangan perusahaan masing-masing, untuk memberikan insentif tambahan terkait uang transport, dan juga uang makan.”

 Menarik karena, himbauan itu bagus. Uang makan dan transport memang kebutuhan riil yang harus dikeluarkan buruh sehingga dengan adanya insentif (tunjangan tidak tetap) tersebut buruh akan terbantu seiring kenaikan-kenaikan harga akibat kenaikan BBM. Tapi menyentakkan karena, Sang Menaker seakan mengalihkan upaya penegakan normatif yang memiliki kekuatan hukum. Pertanyaannya, bagaimana insentif memungkinkan diberikan, jika selama ini untuk menjalankan hak-hak normatif saja pengusaha sering ogah? Bagaimana Insentif dihimbaukan di tengah alotnya kebertan pengusaha untuk menaikkan upah?

Insentif  bersifat kepentingan dan jauh dari yang diwajibkan. Sedangkan penetapan upah (UMK) adalah normatif, yang secara subtsansi ia akan menentukan hak-hak normatif lainnya seperti perhitungan lembur, cuti, pemtotongan premi pensiun asuransi, rumus perhitungan pesangon, dsb.

Maka, pernyataan itu tidak patut jika menjawab kenaikan upah buruh, larinya dibawa kepada isentif. Karena selain tidak substantif, hal ini merupakah pengebirian terhadap hak-hak normatif, dan menyimpang dari fisolofi melayakkan upah buruh serta memberi jaminan kepastian hukum dan penegakannya.
Tangerang, 5 Desember 2014

Divisi Advokasi

Serikat Buruh Bangkit

No comments:

Post a Comment