Hukum
dan kejahatan kadang sulit dibedakan, ketika kejahatan yang riil tak nampak
oleh hukum.
Fakta
tentang adanya korban atas kejahatan, masih bisa digelapkan oleh berbagai
interpretasi dari pasal-pasal suatu hukum, hingga kebenaran menjadi absurd.
Kebenaran
suatu fakta, sering bagaikan angin yang berhembus, dan hanya memperdengarkan
instrumen-instrumennya yang lemah.
Mengutip obrolan pendek Andreas Harsono dan Lies
Marcoes, hukum mestinya menjadi harapan untuk membantu sistem peradilan, karena
hukum relatif bisa lebih netral dan universal. Bias gender, kekuasaan dan
kepentingan-kepentingan lainnya sering melahirkan sistem pemiskinan, pembodohan,
diskriminasi dan kejatahan lainnya yang sering bertentangan dengan HAM.
Padahal
HAM adalah hak warga Negara yang sangat dasar yang di antaranya mencakup rasa
aman, kesejahteraan, dan keadilan atas hukum yang tanpa diskriminisasi. Namun,
hak-hak dasar itu telah lenyap kini, dan ptoret itu bertebaran di mana-mana
yang salah satunya dialami oleh Richard James Haryanto, buruh PT. Sari Delta
Mega yang pada 29 Desember 2013 lalu, menjadi korban tipu daya dan tipu muslihat
dari orang-orang yang terindikasi sebagai aparat Negara.
Oleh
tiga orang yang memperlihatkan kartu identitas lambang kepolisian dan
bertuliskan nama E-K-O ia dipaksa mengundurkan diri. Hal itu dilakukan tidak
hanya sekali, dan pada kali kedua mereka datang ke PT. Sari Delta Mega, dan
bersama manajemen kembali memaksa Richard meninggalkan pabrik. Pada saat itu
dari mereka ada yang memakai seragam TNI.
Richard
yang merasa takut dan terancam menuruti permintaan orang-orang tersebut. Dan surat bertuliskan namanya
sudah menjadi bukti bahwa ia telah tak ada hubungan lagi dengan perusahaan
dengan cara yang keji.
Kemudian,
lembar kertas yang diperoleh dengan cara menekan dan menakut-nakuti itu segera
menjadi bukti hitam-putih yang dibenarhkan oleh hukum. Tapi di sisi lain, hukum
tuli terhadap ratapan bahwa itu tipu daya, juga buta terhadap logika-logika
yang tidak masuk akal bahwa hanya orang tidak waras yang sanggup merugikan
dirinya untuk berbuat konyol—mengundurkan diri dari pekerjaan!
Pengunduran
diri yang ia lakukan, tak hanya membawa dampak kesengsaraan pada dirinya.
Karena Richard adalah seorang bapak yang menanggung kehidupan seorang istri dan
4 anak yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan
orang-orang yang ia cintai.
Richard,
juga seorang pejuang bagi orang-orang “kecil” yang sama seperti dirinya yaitu
buruh-buruh di tempat kerjanya yang sekian lama dilanggar hak-haknya di PT.
Sari Delta Mega. Tak beda dengan buruh lainnya, ia hanya menerima gaji tiap
bulan sekitar Rp 1.300.000 di tahun 2013, ini jauh dari upah yang ditetapkan
oleh pemerintah yaitu Rp. 2.420.000.
Sebagai
ketua serikat buruh, ia adalah lambang keberanian yang harusnya dilindungi oleh
hukum, atas laporan-laporannya kepada pihak yang berwajib terhadap kejahatan
pengusaha yang menimpa para pekerja. Keberanian itu terlahir bukan karena
menjalankan misi Negara yang seluruh operasionalnya dibiayai dan berharap
pangkat, tapi justru dalam keterhimpitan, kekurangan, dan keterbasan yang
dihadang oleh berbagai kemungkinan resiko. Ia dan buruh di perusahaan itu sadar
bahwa tindakanya dalam ranah wilayah rentan, namun mereka memiliki iman untuk
bertindak.
Dalam
proses hukum yang kami tempuh, baik di kepolisian maupun Dinas Ketenagakerjaan
Kabupaten Tangerang, kami terus dipaksa menyaksikan hal yang memuakkan melalui
ungkapan-ungkapan penegak hukum seperti -- “Lho, kan sudah mengundurkan diri? Buktinya sudah jelas,
lalu apa lagi?”
Adakah
nurani dan logika dalam nilai hukum Negara ini? Bukankah hanya orang tak waras
yang mau dengan sadar mengorbankan diri dan keluarganya?
Fakta
lebih mencengangkan lagi kami dapati dari pernyataan Kabid Pengawas Dinas
Ketenagakerjaan Kabupaten Tangerang pada 13 Februari 2014. Hal ini terkait adanya
pengangkatan karyawan di PT. Sari Delta Mega yang bertahun-tahun dijadikan
pekerja lepas. Dan ketika mereka diangkat, dalam pengangkatan tersebut masa
kerja bertahun-tahun justru dihilangkan. Intinya, menurut Kabid Pengawas
tersebut, meski iru merugikan tapi jika pekerja sepakat, maka tidak menjadi
masalah dan hukum tidak bisa memaksa.
Pelepasan
hak atas upah melalui penandatanganan pekerja di atas kertas, sering dijadikan
dasar bagi pengusaha untuk membayar upah di bawah ketentuan. Penghilangan masa
kerja melalui pernyataan di atas kertas, sering dijadikan PHK terselubung.
Begitu juga pengunduran diri yang dilakukan karena tekanan, sudah menjadi dasar
pekerja tak bisa menuntut.
Ungkapan
pelepasan hak menjadi lembar hitam yang menutup kesucian fakta. Padahal fakta
dibalik itu terlalu banyak untuk diabaikan – kapan penandatanganan dilakukan?
Dengan kesadaran atau diperntah? Oleh siapa ia atau mereka diperintah? Di mana,
dalam keadaan seperti apa? Punyakah buruh kebebasan menentukan pilihan, dan apa
konsekwensi atas pilihan tersebut? Dan sebagainya.
Bukankah
seluruhnya itu adalah kunci-kunci dari kesaksian adanya intimidasi, yang dalam
hukum perburuhan maupun azas kemanusiaan (HAM) setiap warga Negara yang wajib
dilindungi?
Melihat
Richard adalah bagian melihat potret buruh yang selalu dibiarkan di zona liar
tanpa kehadiran Negara. Padahal buruh bukanlah sebuah komponen tunggal dari
proses produksi semata. Tapi ia adalah warga Negara, yang wajib dihormati atas
seluruh hak-hak konstitusinya, sebagai hak mendasar dalam berbangsa dan
bernegara.
Jika
hukum, hanya selalu melihat hitam dan putih, jelas hukum ini “Rasis” dan rabun.
Dan bagi penegak hukum yang melegitimasi adanya pelepasan hak untuk menghilangkan
hak-hak buruh, maka jelas bahwa penegak hukum berada dalam ambang ketakwarasan,
yang tanpa akal sehat dan logika.
Atas nama hukum, pemiskinan,
pembodohan, perbudakan, dilakukan secara massal di ruang-ruang yang sangat
terang-terangan.
Tangerang, 13 Februari 2014
Divisi Advokasi Bangkit
No comments:
Post a Comment