Inilah dualisme tandatangan
Ratu Atut Gubernur Banten, terkait Surat Keputusan kenaikan Upah di satu sisi,
SK penangguhan di sisi lain. Apa yang dilakukan Gubernur Banten adalah potret
kejahatan hukum yang tersistemastis.
Pada tahun 2003, di bawah
kepemimpinan Megawati Sukarnoputri, lahirlah Undang-undang Ketenagakerjaan 13
Tahun 2003 yang melarang pembayaran upah di bawah ketentuan pemerintah. Namun
di tahun yang sama, lahir juga Peraturan Menteri KEP. 231 /MEN/2003 mengatur
tentang penangguhan upah, dan membatalkan segala peraturan perundang-undangan
yang bertentangan dengan keputusan tersebut. Akibatanya, selama 7 tahun, ribuan
pekerja di PT. Universal Footwear Utama Indonesia (UFU) hidup di bawah Upah
Minimum Regional (UMR). Padahal tindakan membayar upah di bawah ketentuan
merupakan Tindak Pidana Kejahatan Ketenagakerjaan.
Dan ironisnya, pelanggaran
terus berlangsung sejak 2007, seakan tanpa ada sistem kepengawasan pihak
berwenang. Ketika Sang Ratu menjadi tersangka kasus korupsi pada 2013 lalu,
pekerja PT.UFU mengira tak akan ada lagi penangguhan. Namun dugaan itu keliru,
dan penangguhan kembali terjadi pada 2014. Upah Minimum Sektoral II Kota
Tangerang sebesar Rp. 2.688.731 tersangkut di Keputusan Gubernur Banten
Nomor:561.2/Kep.16-Huk/2014, sehingga pekerja PT. UFU hanya menerima
Rp.1.700.000 pada Januari 2014. Baru pada bulan Maret pekerja kontrak mendapat
upah Rp. 1.950.000, sedangkan upah untuk pekerta status tetap Rp. 2.050.000.
Padahal, berdasarkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2013 Pasal 60, pekerja
dalam masa percobaan pun tidak boleh dibayar di bawah UMK.
Sejak
2007, selain memberlakukan upah murah, PT. UFU juga melakukan
diskriminasi terhadap pekerja kontrak. Pekerja kontrak di sana hanya menerima
Rp. 802.500, sedangkan Upah Minimum Kota Tahun 2007 adalah Rp. 882.500. Pada
2008, PT. UFU membayar pekerja kontrak dan pekerja berstatus tetap sebesar Rp.
882.500 alias menggunakan UMK tahun sebelumnya. Sementara UMK 2008 adalah Rp.
958.782.
Membayar
upah murah kembali terjadi pada 2009, dimana pekerja kontrak hanya menerima
upah Rp.882.500, dan Rp.958.782 untuk pekerja tetap. Sedangkan Umk/UMP pada
2009 adalah Rp. 1.064.500. Tahun 2010, upah bagi pekerja kontrak Rp. 958.782,
pekerja tetap sebesar Rp. 1.064.500. Meski UMP yang ditetapkan sesuai Surat
Keputusan Gubernur Banten pada 2010 adalah Rp 1.118.500.
Pada
2012 PT. UFU membayar pekerja kontrak Rp. 1.381.000 yang diberlakukan pada
Februari 2012 sedangkan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Gubernur 2012 adalah
Rp. 1.529.150. Pada Januari 2013, buruh kontrak dan status tetap menerima upah
Rp. 1.700.000, nilai ini tak sesuai SK Gubernur 2013 yang menetapkan UMSK
Rp.2.203.000.
Pertanyaan
mendasar atas penangguhan upah di PT. UFU. Pertama, pada pasal 4 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI Nomor: KEP. 231 /MEN/2003 Tentang Tata
Cara penangguhan Upah Minimum, permohonan penangguhan Upah minimum harus
disertai syarat diantaranya, laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari
neraca, perhitungan rugi/laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun
terakhir, data upah menurut jabatan pekerja/buruh, perkembangan produksi dan
pemasaran selama 2 (dua) tahun terakhir, serta rencana produksi dan pemasaran
untuk 2 (dua) tahun yang akan datang.
PT.UFU,
yang memproduksi merk-merk berkelas internasional semacam New Balance,
Specs, Lonsdale, Geox Respira, Sperry, Karimor, Lafuma, Fred Perry, Puma,
Dekatlon, Superfit, dan HI-TEC, apakah masuk akal jika kondisi
keuangan PT.UFU tidak mampu membayar upah sesuai ketentuan pemerintah?
Kedua,
pada pasal 5 Kepmen tersebut, disebutkan bahwa persetujuan penangguhan yang di
tetapkan oleh Gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, dan
setelah berakhirnya izin penangguhan, maka pengusaha wajib melaksanakan
ketentuan upah minimum yang baru. Lantas, kenapa penangguhan upah di PT.UFU
terjadi terus-menerus sepanjang 7 tahun itu?
Di
sinilah, pemerintah tidak boleh lepas tanggungjawab terhadap pelanggaran hukum
di di PT. UFU. Kinerja Pengawas Ketenagakerjaan yang dalam hal ini Disnaker
Kota Tangerang harus dievaluasi, mengingat pelanggaran ini telah dilaporkan
berkali-kelai sejak 2007 oleh Serikat Buruh Bangkit. Bahkan laporan pelanggaran
yang terus terulang dilakukan sampai tingkat Dirjen Binwasnaker dan Menteri
Tenaga Kerja RI, juga DPRD dan DPR RI.
Padahal sesuai Undang-Undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Pegawai pengawas ketenagakerjaan
ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Dalam instansi pemerintah,
pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit khusus baik sedari pemerintah
pusat, provinsi, kabupaten hingga kota.
Hal mana juga dikuatkan dengan Keputusan Menteri Nomor Kep.23/MEN/2012 Tentang
Pokok Pengawasan di Bidang Ketenagakerjaan RI, yang di antaranya menyebutkan
bahwa pengawasan ketenagakerjaan harus berada di bawah supervisi dan kontrol
pemerintah pusat demi menjamin Ketaatan aparat Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya, jika pengawasan yang
di daerah tidak menjalankan fungsinya, pemerintah pusat wajib menindak dan
bertindak. Penangguhan yang dilakukan selama 7 tahun, adalah bentuk arogansi
dan perbuatan melawan hukum. Ia tak hanya dilakukan oleh pengusaha, melainkan
juga keterlibatan peran pengawas. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang salah
satu berfungsinya melakukan pengawasan sistem penegakan hukum oleh
penyelenggara negara, wajib menindak aparatur pemerintah yang tidak memiliki
akuntabilitas.
Realita ini jelas melanggar
hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia. Fakta ini sangat melukai rasa
keadilan, kemanusianan, moral, dan menyimpang dari azas kewajaran serta
kepatutan.
Cikuya, Mei 2014
7 Tahun PT. UFU Tangguhkan Upah
Tim Advokasi Serikat Buruh Bangkit [dimuat di situs kabarjakarta.com]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment