Penghisapan atas manusia
Agustus 2008
Pagi
itu, ia terbangun dari tidurnya yang hanya beberapa menit. Bahkan ia sendiri
tak tahu kapan kesadarannya memasuki alam peraduan. Dunia mimpi, meski tak juga
membuatnya bisa bermimpi.
Tangannya
segera meraih jam yang ia letakkan pada lipatan celana. Itu benda berharga yang ia miliki selama hidup di
perantauan. Jam 05.00. Ia melipat kain sarung, meminggirkan bantal pada
dinding, tergesa menuju kamar mandi. Tangan kirinya menenteng tempat sabun,
tangan kanannya menyambar handuk yang tersampir pada jemuran dari tali rapia.
Di
lorong menuju kamar mandi, teman-temannya tampak sedang berjejer sambil
menyandar pada dinding. Wajah-wajah
kuyu, dengan mata sulit membuka, tak beda dengan dirinya. Sama-sama kurang
tidur. Bedanya, teman-temannya habis kerja lembur, sedang dirinya karena memang
tak bisa tidur. Satu orang keluar dari kamar mandi, satu orang mendapat giliran
masuk.
Maklum
kamar mandi yang merangkap WC itu merupakan satu-satunya, yang digunakan
ramai-ramai oleh penghuni kontrakan yang berjumlah sepuluh orang.
Semua
temannya sudah selesai. Sebagian ada yang sholat, ada yang menjemur pakaian dan
ada yang menuju dapur darurat (memanfaatkan lorong di antara kamar yang
berhadap-hadapan). Kini giliran dirinya memasuki kamar pas itu. Namun laki-laki
itu malah tampak bimbang. Untuk apa mandi sepagi itu? Ia letakkan peralatan
mandi di tempatnya semula. Lalu kembali masuk ke kamarnya. Lunglai.
Dari
dalam kamar pendengarannya menangkap kesibukan teman-temannya. Bunyi korek api
dinyalakan, bau sangit sumbu kompor, aroma bumbu indomie diseduh air panas dan
dentingan sendok yang beradu dengan piring.
Tak
berapa lama sebuah suara memanggil namanya, “Kak Ahmad,” suara Yugo, salah
seorang temannnya.
Ia
buru-buru mengambil posisi rebah. Memiringkan badannya. Agar tak terlihat bahwa
tidurnya hanya pura-pura. Perasaannya bergemuruh membuat kain sarungnya
terlihat bergetar, oleh tarikan nafas tak teratur. Ada kecewa dan putus asa. Ia Memilih diam.
Tak ingin bersentuhan dengan teman-temannya. Tak ingin diskusi dan menjawab
pertanyaan. Bahkan tidak ingin mendengar ungkapan bernada keprihatinan. Ia
memilih menghindar.
Menghindar?
Tidak! Dalam dirinya selalu ada yang menyentak-nyentak. Ia ingin lari,
mendatangi personalia pabrik itu. Ingin menanyakan kenapa diPHK. Padahal
dirinya tak bersalah. Tidak mangkir, tidak melawan atasan, tidak menggelapkan
barang milik perusahaan untuk kepentingan pribadi, juga tidak mabuk-mabukkan
apalagi berbuat asusila.
Pukul
6.30 WIB. Teman-temannya sudah pergi. Yugo, salah satu teman sekamarnya, masuk
kamar sekali lagi. Pandangannya tertumbuk pada tubuh yang berbaring dalam
posisi miring. Ia seperti hendak menyampaikan sesuatu, nampak menimbang-nimbang
dan pergi setelah meninggalkan dua lembar ribuan di dekat kardus sepatu. Yugo
pergi dengan tergesa, mengejar teman-temannya.
Pintu berderit ditutup oleh Yugo. Sunyi.
Kini tinggal ia sendiri. Ia berjalan ke dapur.Ada semangkuk indomie yang mekar
tanpa air dan sebuah kompor yang lupa dikembalikan ke tempat semula, di samping
rak sepatu. Sinar matahari menerobos melalui lobang asbes. Ia gelisah.
Disulutnya puntung rokok kretek bermerk Salam yang ia sisakan semalam.
Nafasnya
kian memburu, berdesakan tak tertampung oleh dadanya yang tipis. Ia
terbatuk-batuk. Pandangannya kembali tertuju pada buku sampul biru, bertuliskan
UUK 13/2003 dalam huruf besar. Ia teliti sekali lagi pasal demi pasal, ayat
demi ayat, lembar demi lembar. Sebagian ujungnya mulai basah oleh tangannnya
yang berkeringat. Kriteria yang membenarkan dirinya di PHK sepihak tak ada di sana. Bahkan selama ini,
perusahaanlah yang telah banyak melakukan pelanggaran. Melebihkan jam kerja
tidak dibayar, memaksa lembur dengan ancaman pemecatan, membayar upah di bawah
UMK, apa lagi memberikan cuti haid, cuti tahunan atau THR yang layak. Tahun kemarin, dirinya hanya menerima uang
ketupat sebesar 20.000 rupiah.
Ia juga ingat salah satu kelicikan
perusahaan itu, yaitu selalu memanipulasi fakta bila ada buyer Adidas atau
Nike. Pembersihan dilakukan hingga ke saluran air. Sabun pencuci tangan
dipajangkan di WC. Padahal untuk semua itu, siapa sangka kalau buruh menanggung
derita karena harus menahan kencing dan buang air besar, karena tak boleh
mondar-mandir mengotori lorong-lorong sekitar WC. juga tak boleh mengambil air
minum, supaya lantainya tidak becek.
Wajah Juhendrik, personalia PT.UFU yang
telah memecatnya kembali muncul di benaknya. Bahkan seperti hadir begitu
dekat, hanya untuk menekankan kalimat pemecatannya sekali lagi, “Kamu sudah
tidak dibutuhkan.” Dan ia harus meninggalkan pabrik saat itu juga. Tanpa proses
perundingan apalagi peradilan. Argumen yang hendak diajukan pun, telah dipotongnya
dengan no coment. Personalia tak melayani perundingan mengenai pemecataan
terhadap buruh kontrak.
Di
PT. UFU yang mempekerjakan sekitar
4000 buruh itu, tak ada satu peluang pun baginya. Kata personalia, semua
departemen sudah tak membutuhkan. Posisi yang ia tempati sudah tak memerlukan
tenaganya lagi, meski kenyataannya, posisi yang di tempat dirinya langsung
digantikan oleh karyawan lain. Hmm..tak masuk akal.
Ahmad,
adalah satu-satunya karyawan kontrak yang aktif tergabung dalam Serikat Buruh
Bangkit. Ia juga satu-satunya karyawaan kontrak yang tidak mau menanda tangani surat pelepasan hak ketika
menejemen meminta karyawan kontrak untuk membuat pernyataan bersedia dibayar di
bawah UMK.
Selama
ini, Ahmad memang tidak muncul sebagai pengurus di PT. UFU, yang beralamat di Jl. Pasir Raya, Tangerang.
Namun dalam kegiatan di luar PT. UFU, ia banyak melakukan dukungan terhadap
proses perjuangan para pengurus. Ia sering dipercaya membuat suarat-surat,
selebaran maupun sumbangsih ide-ide dalam rapat.
Puncaknya,
ketika pemotongan upah telah berjalan selama hampir setahun. Ketika para
pengurus merasa buntu karena perjuangan terganjal surat pernyataan dari karyawan sendiri yang
bersedia digaji murah. Ketika Kepala Dinas Tenaga Kerja Tangerang melegitimasi
pemotongan upah dengan dalil “pelepasan hak” dari karyawan. Ketika pengawasan
tidak berfungsi dan malah menakut-nakuti bahwa pabrik akan tutup jika pengurus
menuntut pembayaran upah sesuai UMK. Ketika SPSI berubah fungsi menjadi akuntan
public yang ikut menyatakan bahwa pabrik dalam kondisi bangkrut dan
menyebarkan angket kepada karyawan pilih lanjut atau tutup. Ia memutuskan
terjun dalam aksi yang digelar di pelataran gedung Dinas Tenaga Kerja Tangerang
bersama para pengurus untuk menuntut keadilan. Ia juga masuk dalam tim perunding dan ditunjuk oleh pegawai Disnaker
sebagai saksi dalam penyidikan yang diagendakan di kemudian hari.
Namun, siapa sangka bahwa sejak itu pula,
garis hidupnya telah ditentukan bukan lagi oleh perjuangan, oleh dirinya
ataupun oleh takdir Tuhan yang selama ini manusia wajib mempercayainya,
melainkan oleh undang-undanag ketenagakerjaan yang mengatur system kontrak,
yang diciptakan Menteri Tenaga Kerja dan pemerintah, bahkan oleh serikat buruh
yang bermain mata memberi pintu masuk disahkannya undang-undang tersebut.
Di
suatu sore di bulan Februari, nama Ahmad tak lagi tercantum di tempat perol. Ia
tak dipakai lagi. Tak dibutuhkan lagi. Tanpa perundingan. Tanpa proses
peradilan. Apalagi hadir sebagai saksi atas pelanggaran yang dilakukan perusahaan
tempatnya bekerja selama 5 tahun. Ketika ia mendatangi disnaker mengadukan
pemecatan dirinya, petugas di sana
menjawab. Kamu tidak dipecat, tapi habis kontrak.
Semua
ini hanya karena sebuah status yang bernama kontrak. Masa kerja yang sudah
dijalani selama lima
tahun dihapuskan tanpa bekas, dengan lamaran baru yang harus dibuat setiap
perpanjangan tiga bulan, yang entah sudah berapa kali itu dialami sebagai
rutinitas keharusan.
Ia
pun mulai bertanya, sungguhkah jodoh, rejeki dan kematian ditentukan oleh
Tuhan?
Dalam kegamangan perasaanya, jiwa dan
raganya ia mulai mempertanyakan. Perutnya yang sejak kemarin sore hanya
makan di waktu siang mendadak kembung.
Ia
kembali berbaring. Meluruskan badannya yang terasa ampang. Biasanya, saat-saat
terlentang seperti itu bayangan kekasihnya akan muncul. Tapi entah kenapa,
dalam hatinya tiba-tiba rasa itu sirna. Hambar. Tidak lagi memikirkan cinta,
pernikahan, apalagi gambaran keluarga di masa depan. Malah yang muncul adalah
angka-angka kasbon di warteg, di warung rokok, di warung indomie dan sewa
kontrakan yang sebentar lagi harus dibayar.
Divisi Advokasi
Serikat Buruh Bangkit
No comments:
Post a Comment